Rabu, 08 Februari 2012

40 Hari Nonsetop, Sehari 3 Panggung
HARI-HARI seperti ini cobalah datang ke perbatasan Kabupaten Pati dan Rembang. Bertanyalah pada tukang ojek atau sopir angkutan, pasti tak sulit untuk mendapatkan informasi tentang tempat pertunjukan ketoprak. Pada musim orang punya hajat dan kabumi (sedekah bumi) seperti sekarang, seni pertunjukan itu hampir setiap hari bisa ditonton lewat tanggapan di kawasan tersebut.
Minggu (5/6) lalu, misalnya, paling tidak ada lima grup ketoprak pentas siang-malam. Ketoprak Cahyo Mudho manggung di Desa Gunungngsari, Batangan Pati; Langen Marsudi Rini di Desa Nggrawan, Sumber, Rembang; Siswo Budoyo di Dungbacin, Nggrawal, Sumber, Rembang; Ronggo Budoyo di Mantingan, Jaken, Pati; dan Wahyu Budoyo di Samben, Kaliori Rembang. Cahyo Mudho dan Langen Marsudi Rini ditanggap untuk bersih desa, sedangkan tiga grup yang lain untuk sunatan dan pesta pernikahan.

...
"Tapi karena sekarang panen tidak begitu berhasil, tanggapan juga sepi. Untuk Madilakir (Jumadilakir-Red) nanti, baru ada 17 tanggapan, sebagian besar sehari-semalam. Tahun-tahun lalu, jika panen bagus, sebulan bisa manggung 25 hari 25 malam dalam sebulan," kata Kabul Sutrisno (65), Ketua Ketoprak Cahyo Mudha, yang beralamat di Desa Bakaran Kulon, Kecamatan Juwana, Pati.

Soal jumlah tanggapan yang berkurang, Pemimpin Langen Marsudi Rini, Rinny Riana (40), pun mengakui. "Sekarang apa-apa kan lagi sepi, tanggapan pun tak seramai tahun-tahun lalu. Tahun 1996 grup kami bisa tanggapan 40 hari nonsetop, tapi sekarang jauh berkurang, apalagi harus bersaing ketat dengan campursari dan dangdut," kata rol perempuan yang juga pemilik grup ketoprak itu.

A Yudi Siswoyo (56), Manajer Siswo Budoyo, malahan mengungkapkan "prestasi" tanggapan terkini yang tak kalah dari Cahyo Mudho. "Juni ini tanggapan kami hanya 21 kali, umumnya siang-malam. Tapi kalau disambung bulan berikutnya, 40 hari kami nonsetop. Biasanya malah full sebulan tidak ada lowongnya, tapi sekarang memang lagi berkurang," kata lelaki yang tinggal di Sukoharjo, Margorejo, Pati, itu. Diketuai oleh suami-istri Anom Sudarsono dan Kristin, Sekretariat Siswo Budoyo berada di Desa Growonglor, Juwana, Pati.

Memang di antara ketoprak "papan atas" di Pati, Siswo Budoyo boleh dibilang yang paling laris. Malahan beberapa kali kelompok ini tampil di layar kaca, termasuk di Indosiar beberapa pekan lalu.
Namun dalam soal stabilitas dan konsistensi, Cahyo Mudho-lah yang patut mendapat catatan khusus. Ketoprak yang awalnya bernama Budi Sampurno itu telah berdiri sejak 1955, dan sampai sekarang tetap eksis. Padahal, selama rentang waktu itu, berpuluh-puluh grup ketoprak telah tumbuh, sekarat, dan akhirnya mati karena aneka hal. Namun Cahyo Mudha, yang lebih dikenal dengan sebutan Ketoprak Bakaran itu tetap identik dengan legenda kejayaan ketoprak Pati. Jika ada orang haul, kata Kabul, ketopraknyalah yang selalu dipilih. Malahan sejumlah desa hampir bisa dipastikan, setiap tahun ketika digelar sedekah bumi, selalu nanggap Cahyo Mudho. "Di Desa Majolampir dan Nduni, Kecamatan Jaken, juga Klumpit, Karangbale, Dukuhmulyo, dan Glonggong di Kecamatan Jakenan, di samping Bakaran, setiap tahun kami selalu manggung untuk kabumi. Warga di desa itu percaya, kalau tidak nanggap Ketoprak Bakaran, panennya bisa gagal," ungkap Kabul, yang di desanya menjadi kaur umum itu.
Dari orang punya hajat, baik mantu, sunatan, maupun haul, grup kesenian itu memperoleh tanggapan. Di luar itu, acara sedekah bumi (bagi desa yang sebagian besar penduduknya menjadi petani) dan sedekah laut (bagi desa yang penduduknya sebagai petambak atau nelayan) merupakan pasaran tetap setiap tahun. Yang hingga kini terus berjalan, di kawasan Rembang-Pati, setiap dukuh -sebuah desa bisa terdiri atas beberapa dukuh- menyelenggarakan sedekah bumi atau sedekah laut dengan nanggap seni pertunjukan. Dan, di antara sekian banyak ragam kesenian, ketoprak dari grup papan ataslah yang dianggap paling bergengsi.
Lantas, berapa tarif untuk nanggap ketoprak-ketoprak itu? "Jika tak jauh-jauh tempatnya, sehari semalam tanggapan Wahyu Budoyo Rp 4 juta, sudah termasuk lampu, panggung, kostum, kelir, gamelan, dan sound system, " ungkap Yudi Siswoyo.
Kabul pun menyebutkan, dengan fasilitas yang sama, tarif pentas ketopraknya sehari-semalam Rp 4 juta. "Jika hanya semalam, terpautnya hanya Rp 200.000 dari pentas sehari semalam," katanya.
Rinny mengungkapkan, besaran tarif grupnya yang kurang lebih sama dengan grup "papan atas" lain. "Jaraklah yang sangat kami perhitungkan. Untuk pentas di Demak, misalnya, tarif kami bisa mencapai Rp 8 juta atau bahkan lebih," kata dia.
Jangan buru-buru mengira tanggapan sebesar itu akan habis untuk sewa kostum, gamelan, panggung, lampu, kelir, sound system, dan transportasi. Hal-hal yang bagi grup pemula sering menjadi beban terbesar karena harus diatasi dengan cara menyewa itu, justru tak menjadi soal bagi grup semacam Siswo Budoyo, Cahyo Mudho, dan Langen Marsudi Rini.
Semua fasilitas itu mulai dari gamelan, panggung, perangkat tata suara dan tata lampu, kelir, kostum, sampai angkutan telah mereka miliki. Siswo Budoyo, misalnya, untuk mengangkut semua alat dan properti pentas, telah memiliki tiga truk dan sebuah bus, di samping segala peralatan pendukung pentas yang lain.
Cahyo Mudho dan Langen Marsudi Rini pun memiliki fasilitas yang tak jauh berbeda. "Kalau semua harus nyewa, pemain dapat apa," kata Kabul Sutrisno.
Kejayaan dan larisnya tanggapan itu tentu saja turut memercikkan kemakmuran bagi para pemainnya. Dengan 65 personel, di tubuh Cahyo Mudha penghonoran didasarkan atas kelas pemain, yang terdiri atas A, B, dan C. Mulai yang terendah Rp 50.000 sampai Rp 200.000 untuk pemain wos (inti). "Pemain jumputan honornya bisa lebih tinggi lagi. Pemain yang sudah tua, yang terpaksa kita pensiunkan juga dapat honor, paling sedikit Rp 5.000 setiap kali ada tanggapan," ungkap Kabul.
Kabul pun menyebutkan, grupnya yang tergolong paguyuban itu juga selalu menyisihkan dana setiap mendapat tanggapan. "Selain untuk manganan (syukuran) di makam sesepuh, dana yang terkumpul untuk membantu anggota kami yang sedang sakit, meninggal, membangun rumah, ataupun punya hajat."
Meski diberlakukan tiga kelas, standar penghonoran personel Siswo Budoyo agak berbeda. "Ketoprak kami bukan ketoprak organisasi, melainkan ketoprak bos, ketoprak majikan. Mungkin honornya lebih rendah dari ketoprak organisasi, karena semua sisanya masuk bos, tapi segala hal yang berkaitan dengan operasional pentas ditanggung oleh pemilik. Pemilik juga yang memberikan semacam asuransi bila terjadi kecelakaan saat pentas dan santunan kepada personel yang sakit," kata Yudi Siswoyo. Dia juga menyebutkan, di grupnya honor tertinggi Rp 80.000 sekali pentas, sedangkan terendah Rp 35.000.
Meski mengaku menerapkan kelas personel dalam penghonoran, Rinny mengelak untuk menyebutkan besar honor yang dia berikan kepada para pemainnya. "Grup kami memang ketoprak majikan, kami sebagai pemiliklah yang menentukan besar honor pemain dan niyaga. Itu berbeda dari ketoprak organisasi atau paguyuban, yang segala sesuatunya harus dimusyawarahkan, termasuk untuk mengambil pemain lain. Yang pasti, kami menghonori teman-teman secara profesional. Pelawak, misalnya, bisa kami honori Rp 200.000. Jarak tempat pentas dari rumah tentu saja sangat kami perhitungkan," kata putri seniman ketoprak Sri Kencono yang pernah melambung lewat peran Ondho Rante, almarhum Suparjo, itu.
Memang para pemain wos akhirnya memiliki tarif sendiri-sendiri. Pelawak, emban, dan pemeran utama bertarif tinggi. Seorang pelawak bisa dibayar Rp 200.000 hingga lebih dari Rp 1 juta. Tak mengherankan jika Kancil, sekalipun sudah ikut bergabung dengan Ketoprak Humor di Jakarta, tetap aktif manggung di kawasan ini.

Sebagai pemain yang berkarakter, terutama dengan peran Sunan Kalijaga, pemain senior semacam Budiyono setiap kali dibon bayarannya tak kurang dari Rp 300.000. Padahal, sehari-semalam dia bisa hadir di tiga pementasan di tempat yang berbeda dan dalam waktu yang hampir bersamaan. "Bahkan, kalau saya tak bisa manggung, bayaran untuk grup kami bisa disunat Rp 250.000 oleh yang punya kerja," kata sesepuh dan pemain Bangun Budoyo, grup ketoprak dari Desa Karang, Kecamatan Juwana, Pati ini.
Sebagai pemain bon-bonan, honor yang pernah diterima Rinny Riana pun boleh dibilang "luar biasa". Ketika pentas di Desa Bakaran, Juwana, dengan grup lain, sekali manggung dia mendapat bayaran Rp 1,5 juta.(Sucipto Hadi Purnomo-bersambung-7t)
Sumber : Suara Merdeka Muria
Wayang Golek (Nada Amelia W)

wayang golek  adalah suatu seni pertunjukan wayang yang terbuat dari boneka kayu, yang terutama sangat populer di wilayah Tanah Pasundan. Pertunjukan ini mulai dipopulerkan di Tanah Jawa oleh Sunan Kudus.

Daftar isi

 [sembunyikan

[sunting] Wayang

Pengrajin wayang golek
Wayang adalah bentuk teater rakyat yang sangat popular. Orang sering menghubungkan kata “wayang” dengan ”bayang”, karena dilihat dari pertunjukan wayang kulit yang memakai layar, dimana muncul bayangan-bayangan. Di Jawa Barat, selain wayang kulit, yang paling populer adalah wayang golek. Berkenaan dengan wayang golek, ada dua macam diantaranya wayang golek papak (cepak) dan wayang golek purwa yang ada di daerah Sunda. Kecuali wayang wong, dari semua wayang itu dimainkan oleh seorang dalang sebagai pemimpin pertunjukan yang sekaligus menyanyikan suluk, menyuarakan antawacana, mengatur gamelan mengatur lagu dan lain-lain. А

[sunting] Perkembangan

Wayang Golek Sunda
Sebagaimana alur cerita pewayangan umumnya, dalam pertunjukan wayang golek juga biasanya memiliki lakon-lakon baik galur maupun carangan yang bersumber dari cerita Ramayana dan Mahabarata dengan menggunakan bahasa Sunda dengan iringan gamelan Sunda (salendro), yang terdiri atas dua buah saron, sebuah peking, sebuah selentem, satu perangkat boning, satu perangkat boning rincik, satu perangkat kenong, sepasang gong (kempul dan goong), ditambah dengan seperangkat kendang (sebuah kendang Indung dan tiga buah kulanter), gambang dan rebab.
Sejak 1920-an, selama pertunjukan wayang golek diiringi oleh sinden. Popularitas sinden pada masa-masa itu sangat tinggi sehingga mengalahkan popularitas dalang wayang golek itu sendiri, terutama ketika zamannya Upit Sarimanah dan Titim Patimah sekitar tahun 1960-an.
Dalam pertunjukan wayang golek, lakon yang biasa dipertunjukan adalah lakon carangan. Hanya kadang-kadang saja dipertunjukan lakon galur. Hal ini seakan menjadi ukuran kepandaian para dalang menciptakan lakon carangan yang bagus dan menarik. Beberapa dalang wayang golek yang terkenal diantaranya Tarkim, R.U. Partasuanda, Abeng Sunarya, Entah Tirayana, Apek, Asep Sunandar Sunarya, Cecep Supriadi dll.
Pola pengadegan wayang golek adalah sebagai berikut; 1) Tatalu, dalang dan sinden naik panggung, gending jejer/kawit, murwa, nyandra, suluk/kakawen, dan biantara; 2) Babak unjal, paseban, dan bebegalan; 3) Nagara sejen; 4) Patepah; 5) Perang gagal; 6) Panakawan/goro-goro; 7) Perang kembang; 8) Perang raket; dan 9) Tutug.
Salah satu fungsi wayang dalam masyarakat adalah ngaruat, yaitu membersihkan dari kecelakaan (marabahaya). Beberapa orang yang diruwat (sukerta), antara lain: 1) Wunggal (anak tunggal); 2) Nanggung Bugang (seorang adik yang kakaknya meninggal dunia); 3) Suramba (empat orang putra); 4) Surambi (empat orang putri); 5) Pandawa (lima putra); 6) Pandawi (lima putri); 7) Talaga Tanggal Kausak (seorang putra dihapit putri); 8) Samudra hapit sindang (seorang putri dihapit dua orang putra), dan sebagainya.
Wayang golek saat ini lebih dominan sebagai seni pertunjukan rakyat, yang memiliki fungsi yang relevan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lingkungannya, baik kebutuhan spiritual maupun material. Hal demikian dapat kita lihat dari beberapa kegiatan di masyarakat misalnya ketika ada perayaan, baik hajatan (pesta kenduri) dalam rangka khitanan, pernikahan dan lain-lain adakalanya diriingi dengan pertunjukan wayang golek.

Selasa, 07 Februari 2012

Struktur dan Fungsi Kesenian Barongan Seni Budoyo Desa Sinoman Kecamatam Pati Kabupaten Pati, ( Kukuh dan Nada)

Nur Indah Sesantiningrum, 2454000055 (2005) Struktur dan Fungsi Kesenian Barongan Seni Budoyo Desa Sinoman Kecamatam Pati Kabupaten Pati,. Under Graduates thesis, Universitas Negeri Semarang.
[img]

Preview
PDF (Struktur dan Fungsi Kesenian Barongan Seni Budoyo Desa Sinoman Kecamatam Pati Kabupaten Pati,) - Published Version
Download (66Kb)

Abstract

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh terdapatnya ciri khas dalam kesenian Barongan Seni Budoyo. Ciri khas tersebut terletak dalam sajian kesenian Barongan Seni Budoyo yang didalamnya terdapat atraksi mendem (intrance). Selain itu fungsi kesenian Baronganpun masih melekat kental dalam kehidupan masyarakat setempat dan sekitarnya. Fenomena inilah yang menjadi latar belakang peneliti untuk mengulas kesenian Barongan Seni Budoyo secara terperinci. Permasalahan yang dikaji dalan penelitian ini adalah struktur dan fungsi yang terkandung dalam kesenian Barongan Seni Budoyo Desa Sinoman Kecamatan Pati Kabupaten Pati. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendiskripsikan struktur dan fungsi yang terkandung dalam kesenian Barongan Seni Budoyo. Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan informasi tertulis bagi masyarakat, memberikan gambaran yang utuh kepada lembagalembaga yang terkait untuk membuat kebijakan guna pengembangan dan pelestarian budaya daerah dan sebagai bahan pertimbangan calon bagi peneliti berikutnya. Pendekatan penelitian yang digunakan bersifat kualitatif. Penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai Juli 2005 di Desa Sinoman Kecamatan Pati Kabupaten Pati. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, dokumentasi dan teknik analisi data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Penelitian Barongan Seni Budoyo dilakukan di Desa Sinoman Kecamatan Pati Kabupaten Pati. Adapun struktur kesenian Barongan Seni Budoyo terdiri dari diskripsi pertunjukan, pola pertunjukan yang meliputi pratontonan, sajian inti, dan penutup. Selanjutnya kajian struktur kesenian Barongan Seni Budoyo adalah elemen-elemen pertunjukan yang didalamnya terdapat cerita, gerak,iringan, rias busana, sesaji dan tempat pertunjukan. Fungsi dari kesenian Barongan Seni Budoyo yaitu sebagai sarana kebutuhan estetis, sarana tolak bala, sarana ungkapan rasa syukur, sarana hiburan, sarana pendidikan Adapun saran untuk pihak kesenian Barongan Seni Budoyo agar dijaga kelestariannya serta dikembangkan lagi bentuk penyajiannya. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Pati agar mengadakan pembinaan dan penyuluhan kepada organisasi kesenian tradisional guna menambah pengetahuan dibidang budaya serta mengadakan festival-festival kesenian tradisional pada umumnya dan kesenian Barongan pada khususnya.

Arti Lambang & Semboyan Kota Pati (Joko prasetyo)



Lambang Daerah Kabupaten Pati yang sudah disahkan dalam Peraturan Daerah No. 1 Tahun 1971 yaitu Gambar yang berupa: “keris rambut pinutung dan kuluk kanigara”.
Bp Soelaiman Dwijosoekarto atau Mbah Leman merupakan Pencipta lambang daerah kabupaten Pati
# Arti Lambang Daerah Kabupaten Pati :
  • Padi Kapas mencerminkan bahwa Pati adalah daerah pertanian yang subur.
  • Jumlah padinya adalah 17 yang merupakan tanggal Kemerdekaan NKRI.
  • Kapasnya berjumlah 8 melambangkan bulan Kemerdekaan NKRI
  • Pintu gerbang majapahit yang jumlah manukan gentingnya 45 melambangkan Tahun Kemerdekaan NKRI
  • Gunung muria serta Laut Jawa yang merupakan latar belakangkondisi geografi Kab Pati.
  • Keris Rambut Pinutung dan Tombak Senjata andalan Kadipaten Pati juga gambar Kepala Lembu Pragola serta Kuluk Kanigoro kesemuanya itu simbol kebesaran Kadipaten Pati. Makna Bintang adalah bahwasanya masyarakat Pati adalah berkeTuhanan. Makna rantai adalah kerukunan.
  • Bendera merah putih merupakan bukti bahwa Kabupaten Pati setia selamanya dalam kerangka NKRI
# SEMBOYAN KABUPATEN PATI ADALAH BUMI MINA TANI
DASAR HUKUM :
Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Pati Nomor : 3 Tahun 1993 Tentang Semboyan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Pati
Semboyan BUMI MINA TANI yang merupakan kependekan dari :
B : Berdaya
U : Upaya
M : Menuju
I : Identitas Pati
M : Makmur
I : Ideal
N : Normatif
A : Adil
T : Tertib
A : Aman
N : Nyaman
I : Indah Semboyan Pati “BUMI MINA TANI” mempunyai maksud sebagai berikut:
- Berdaya, adalah berkemampuan untuk mewujudkan cita-cita.
- Upaya, merupakan usaha masyarakat dalam mencapai cita-cita yang diharapakan.
- Menuju, merupakan arah / tujuan yang ingin dicapai sesuai identitas daerah.
- Identitas Pati, merupakan ciri kekhususan yang sebenarnya, sehingga masyarakat dengan segala daya dan upaya ingin menemukan Jari Dirinya sendiri.
- Makmur, merupakan cita-cita hidup yang diidam-idamkan seluruh bangsa yang sudah ada sejak bangsa itu lahir.
- Ideal, merupakan harapan masyarakat yang diinginkan agar dicapai suatu keadaan yang selalu dapat menyesuaikan dengan perkembangan jaman.
- Normatif, merupakan harapan masyarakat dan pemerintah yang ingin mencapai tata kehidupan senantiasa berpihak pada norma-norma yang berlaku.
- Adil, merupakan cita-cita bangsa yang didambakan sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
- Tertib, suatu keadaan yang diharapakan yaitu tertib pemerintah dan tertib masyarakatnya sehingga kedua-duanya harus saling mendukung tanpa ada yang bertentangan.
- Aman, adalah suatu keadaan dimana masyarakat benar-benar merasa aman dan merasa terlindungi dalam hidupnya sehari-hari sebagai warga masyarakat.
- Nyaman, adalah suatu keadaan dimana masyarakat merasa enak, sejuk, sehat, dan segar sehingga memungkinkan masyarakat betah tinggal di lingkungannya.
- Indah, juga sebagai cita-cita pendukung yaitu kondisi estetika dambaan masyarakat.

Demikianlah kurang lebih arti lambang Kabupaten Pati, semoga bisa menambah wawasan dan ilmu pengetahuan kita semua. Insya Allah akan kita lanjutkan pembahasan tentang arti lambang Kabupaten yang lain pada posting selanjutnya.
Referensi :
  1. Wikipedia/wiki/Pati
  2. Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Pati
 PERTUNJUKAN TAYUB DI PATI ( Marandita Ayun Kumaladevi )

Tampil dengan kostum yang kontras sebatas dada dihiasi make up yang medhok-merok dan bau parfum yang menyengat hidung, kemudian berlenggang-lenggok di atas gelaran tikar merupakan ciri khas sripanggung pertunjukan tayub. Masyarakat Grobogan menyebutnya sebagai ledhek. Mereka tampil jika diundang oleh warga desa yang kebetulan punya hajat, entah itu khitanan maupun resepsi perkawinan.
Keberadaan ledhek di tengah-tengah masyarakat Grobogan yang mayoritas hidup dalam lingkungan agraris nyaris menyaingi seni hiburan lain semacam wayang kulit, wayang orang, atau ketoprak. Seni tayub masih diuri-uri meski hiburan berbau elektronik sejenis video juga muncul scara sporadis jika kebetulan ada warga desa yang punya hajat. Apakah ini merupakan kompensasi warga desa yang haus hiburan di sela-sela rutinitas pekerjaan bertaninya yang membelenggu ataukah memang telah kadung menjadi tradisi yang mengilus-sumsum sehingga kalau ditinggalkan ada gendam yang musti ditanggung?
Seremoni Nazar
Konon, dulu seni tayub hanyalah sebuah tontonan perlengkapan seremoni nazar bagi warga desa yang kebetulan punya uni alaias nazar. Masyarakat Grobogan meyakini adanya mitos, jika pernah punya nazar, tetapi tidak segera dilaksanakan setelah niatnya tercapai, maka yang bersangkutan akan dirundung malapetaka. Misalnya, ada anggota keluarga yang sakit parah, bahkan sampai meninggal dunia atau dapat pula berubah musibah fatal yang lain. Sebagai medium pengabulan nazar, diundanglah ledhek untuk menolak musibah yang bakal datang. Selain itu, juga sebagai pengucapan rasa syukur kepada Hyang Widhi atas niat dan maksudnya yang telah terkabul. Lama pertunjukan cukup singkat sekitar 1-2 jam. Konon, mantra-mantra yang diucapkan sang ledhek itulah yang sanggup meredam segala musibah.
Dengan iringan gamelan yang mengalun, sang ledhek mulai mengucapkan matra dalam bentuk tembang. Ada suasana sakral di sana. Di tengah asap dupa yang membubung dengan segenap uba rapenya semacam ayam panggang, keris, onggokan pisang, ketupat, dan beras putih, sang ledhek tak henti-hentinya mengucapkan mantra sambil menyebar beras putih ke segala penjuru sebagai tulak balak: “…ana sengkala saka kulon tinulak bali mangulon. Sing nulak balak Raja Iman Slamet …” (ada musibah dari barat ditolak kembali ke barat. Yang menolak Raja Iman Selamat) ….” Byur! Beras putih disebar ke arah barat. Demikian seterusnya higga tujuh kali sesuai dengan arah yang disebutkan. Setelah sang ledhek selesai mengucapkan mantra dalam bentuk tembang, tamatlah pertunjukan sebagai pertanda bahwa nazar telah dilaksanakan. Mereka yakin, musibah tak mungkin muncul sekaligus sang empunya nazar terhindari dari segala petaka.
Namun, seirama perkembangan seni hiburan di daerah pelosok pedesaan, seni tayub kini berubah fungsi, suasana, dan temponya. Dari fungsinya sebagai perlengkapan seremonial nazar beralih fungsi sebagai hiburan semata. Suasana sakral pun sirna berganti suasana hingar-bingar di tengah musik gamelan yang membubung ditingkah ketipak kendang yang keras membentak. Tempo pertunjukannya pun berlangsung semalam suntuk alias byar klekar seperti hiburan lain pada umumnya.

Seronok
Tayub, konon merupakan jarwa-dhosok (akronim) “Yen ditata dadi guyub” (kalau ditata jadi guyup/rukun). Ada makna harfiahnya. Pertunjukan tayub yang melibatkan ± lima pria sebagai penayub dengan dua atau tiga ledhek sebagai sripanggungnya, kalau ditata dan diatur nyaris mampu menampilkan suasana paguyuban yang kuyup akan nilai persaudaraan, kerukunan, dan kekeluargaan. Namun, toh akhirnya makna harfiah yang kuyup nilai itu jadi sirna lantaran dibikin sendiri oleh ulah penayubnya yang kadang seronok, hampir-hampir menjurus ke tingkah pornografi.
Lazimnya, pertunjukan dimulai pukul 21.00 didahului dengan pembukaan instrumen gamelan para niyaga. Setelah semuanya siap, sang ledhek mulai memburu mangsa yang duduk di ruang tamu. Biasanya, mangsa (baca: penayub) yang ketiban smapur atau diberi selendang oleh ledheknya memberi imbalan Rp500. pertunjukan dibagi dalam 2 tahap, yakni mulai pukul 21.00 hingga pukul 24.00 giliran pinisepuh dan warga yang tergolong usia tua dan mulai pukul 0.00 dini hari hingga selesai giliran anak-anak muda. Jika diamati, pada tahap kedualah yang paling gempar.
Boleh dibilang bahwa pada tahap ini pertunjukan mencapai puncak ekstasenya. Nyaris tak ada batas antara penonton dan para penayub. Mereka sama-sama lebur dalam suasana yang hingar-bingar. Semakin larut malam, penonton kian meruah dengan tepuk sorak yang membahana. Pada tahap kedua ini, cara menayub terbagi dalam dua teknik, yakni menari dan ngepos.
Bagi para pemuda yang terampil menari, mereka memilih cara yang pertama dengan mengundang teman-temannya –istilahnya sambatan—untuk bersama-sama menari di tengah pertunjukan. Mereka bebas memilih gending-gending Jawa yang keras dan hingar-bingar dengan suara hentakan kendang yang cukp dominan, seperti gumbul thek, kijing miring, godril, celeng mogok, goyang semarang, dan semacamnya. Sambil menari, mereka mulai bertingkah. Tubuhnya mulai menghimpit, memeluk, bahkan mencium. Penonton dari semua tingkatan usia pun bersorak tempik. Mereka bergumul tanpa malu-malu, meski dilihat oleh sanak saudara dan kerabatnya. Barangkali ini sebagai kompensasi bagi para pemuda desa yang haus hiburan di sela-sela rutinitas kesehariannya yang maton.tanpa variasi.
Sedangkan, bagi para pemuda yang tak becus menari, cukup dengan ngepos, yakni duduk di kursi panjang sambil memangku sang ledhek. Mereka mirip benar dnegan insan manusia yang tengah dimabuk asmara. Dengan diiringi gending-gending Jawa yang rata-rata halus-romantis, semacam sida asih, lara branta, rujak jeruk, yen ing tawang ana lintang, dan sebagainya, mereka mulai bertingkah seronok seolah-olah benar-benar ingin melampiaskan rupa birahinya yang menggelora.
Para warga desa yang terasing dari jamahan hiburan modern semacam bioskup lari menyaub meski mengeluarkan uang lembaran dari sakunya. Mereka ikhlas, asal kebutuhan rohaninya terpenuhi. Hal ini diakui oleh Sukarjo, seorang bujanga yang dhemen menayub dengan logat Jawanya yang medhok: “Dhuwit isa digoleki kok, Mas. Ning nek ledhek mung kala-kala yen ana wong nduwe gawe” (uang bisa dicari kok Mas. Tetapi kalau ledhek hanya kadang-kadang kalau ada orang punya hajat).
Bisa dipastikan, bila ada orang punya hajat, jauh-jauh hari mereka mengumpulkan uang. Memang beginikah sikap para pemuda desa dalam upaya menyiasati kepekaan rohani dan kodrati terhadap hiburan di abad gelombang informasi ini? Ya, barangkali memang ini merupakan siasat guna mengentaskan diri dari himpitan zaman yang menelikungnya.

Tanpa Beban Dosa
Ledhek, konon merupakan jarwa-dhosok dari “Elek ben angger gelem medhek-medhek” (biar jelek asal mau mendekat). Seperti kebanyak ledhek di daerah kabupaten Grobogan, modal kecantikan tak begitu penting, meski juga berpengaruh dalam hal pemasaran. Modalnya cukup dengan dandanan yang seronok dengan vokal yang lancar selama semalam suntuk ditambah dengan keberanian mendekati kaum lelaki. Dan, agaknya mereka tampil seperti layaknya menawarkan kodrat profesi, tanpa merasa dihimpit beban dosa.
“Kula mboten isin, kok, Mas. Merki niki gaweyan kula,” ucap salah seorang ledhek –sebut saja Tukiyem—yang telah terjun sejak tahun 1979 dengan basa krama ndesanya dengan jujur, yang artinya: “Saya tidak malu kok, Mas, sebab ini pekerjaanku.” Kejujuran semacam ini juga disetujui oleh partnernya dengan anggukan kepala.
Pekerjaan, apa pun bentuk dan macamnya, kalau sudah cocok dengan kehendak nurani, memang kadang-kadang tak pandang soal etika. Kalau memang pekerjaan semacam yang dilakukan oleh Tukiyem itu sudah menjadi tuntutan nuraninya, dapatlah ia dijadikan sebagai tameng pendobrak kehidupan yang kian sulit seperti sekarang ini, meski ada bias-bias tuntutan moral di sana. Para ledhek dalam kehidupan sehari-harinya pun hidup wajar bersama warga yang lain, tanpa ada beban moral yang mesti ditanggung.
Ledhek barangkali bisa disamakan dengan keberadaan cokek di Sragen, atau tandak di Surabaya yang diterjuni secara wajar-wajar saja tanpa adanya perangkat upacara perangkat penobatan. Akan tetapi, berbeda dnegan ronggeng di daerah Banyumas yang mengenal adanya tradisi bukak klambu, yang harus rela menyerahkan kehormatannya sebelum dinobatkan sebagai ronggeng. Ledhek di Grobogan, seperti layaknya profesi yang lain, diterjuni secara wajar-wajar saja. Asal ada niat dan sanggup, meluncurlah mereka ke tengah-tengah masyarakat sebagai ledhek.
Namun begitu, mengintip pertunjukan tayub Grobogan yang rata-rata menampilkan adegan seronok, perlu diadakan garis kebijaksanaan yang tegas dari pihak yang berwenang, mengingat pertunjukan ini ditonton oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa mengenal tingkatan usia. Hal ini bisa menimbulkan dampak negatif yang lebih runyam jika tidak segera mendapatkan uluran kebijakan. Apa kata anak-anak jika melihat sanak saudaranya bergumul bersama ledhek tanpa ada jarak yang memisahkan. Para orang tua seolah meneladani anak-anaknya dengan petingkah yang seronok.
Beranjak dari sisi ini, haruskah pertunjukan tayub yang nyaris hanya memburu segi tontonan dan menihilkan unsur tuntunan, mesti diuri-uri? Ya, perlu ada penegasan yang manusiawi tanpa menyinggung perasaan dan harkat warga desa yang rata-rata lugu dan polos. Paling tidak, jarak antara ledhek dan penayub perlu dibatasi. ***

Wayang kulit(dita bella safitri)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Pagelaran wayang kulit oleh dalang terkemuka di Indonesia, Ki Manteb Sudharsono.
Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Jawa. Wayang berasal dari kata Ma Hyang artinya menuju kepada yang maha esa, . Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang(lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.
Secara umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tak dibatasi hanya dengan pakem (standard) tersebut, ki dalang bisa juga memainkan lakon carangan (gubahan). Beberapa cerita diambil dari cerita Panji.
Pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga ( Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity ). Wayang kulit lebih populer di Jawa bagian tengah dan timur, sedangkan wayang golek lebih sering dimainkan di Jawa Barat.

Tentang Kesenian Ketoprak dan Metamorfosis Kesenian (Andi w)


Dalam jagad kesenian negeri ini, ketoprak menjadi salah satu icon penting yang menyuguhkan lakon cerita tentang kehidupan dan sejarah kemanusiaan. Ketoprak menjadi media pertunjukan untuk mementaskan cerita dalam labirin kehidupan dan kearifan Jawa. Ketoprak menjadi media hiburan bagi warga di tengah keringnya kehidupan manusia akibat krisis yang membelit. Semacam oase yang menyejukkan kehidupan warga, media hiburan alternatif yang tetap menguarkan nilai-nilai sejarah dalam setiap fragmen, kearifan lokal dan sindiran kebudayaan yang kental. Di tengah gempuran media radio, televisi, internet dan media lainnya, Ketoprak senantiasa eksis dalam derap kehidupan warga di berbagai daerah.

Selain menjadi media hiburan, pertunjukan ketoprak juga menjadi media alternatif transfer cerita sejarah kepada masyarakat. Umumnya, lakon-lakon yang dipentaskan kesenian ketoprak seputar babad, legenda maupun sejarah yang terjadi di berbagai daerah. Cerita-cerita inilah yang kemudian menjadi kokoh dalam kehidupan warga. Cerita tentang kehidupan kerajaan Majapahit, kerajaan Airlangga, kerajaan Demak, kerajaan Ngayogjokarto, tentang kepahlawanan Gajah Mada, Adipati Unus, perjuangan Walisanga, maupun kisah unik jejak kehidupan tokoh Saridin (Syeh Jangkung) dan cerita lain yang familiar dalam kehidupan warga. Dengan demikian, kesenian ketoprak menjadi media penting yang senantiasa menjadi sejarah manusia agar tetap abadi. Pada titik inilah, perjuangan penggiat seni ketoprak patut diapresiasi. Di tengah krisis kebudayaan bangsa ini, perjuangan penggiat kesenian lokal menjadi “ijtihad” penting, agar kesenian dan kekayaan budaya negeri ini menjadi identitas kemanusiaan bangsa.

Akan tetapi, perjuangan pekerja seni ketoprak dalam ngugemi (menjaga) nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) dan rekaman sejarah tak sebanding dengan apresiasi yang diterima. Penggiat ketoprak senantiasa asing dari gelegar penghargaan kesenian dan kebudayaan negeri ini. Perjalanan kehidupan penggiat ketoprak senantiasa dibayangi mendung hitam, hal ini dikarenakan biaya hidup semakin tinggi dan hasil pertunjukan kesenian ketoprak semakin memprihatinkan (Sucipto HP, 2008). Padahal, besarnya insentif (upah) penggiat ketoprak ditentukan banyaknya pagelaran yang dijalani. Tanpa adanya panggilan pertunjukan, penghasilan penggiat ketoprak akan berhenti total. Inilah tragedi kehidupan pekerja kesenian negeri, di tengah agenda nasional dalam mengapresiasi khazanah kebudayaan bangsa.

Kesenian Ketoprak tumbuh di berbagai daerah di pulau Jawa. Umumnya, grup kesenian ketoptak dapat ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Solo, Jogkakarta, Semarang , Pati, Kediri dan Tulungagung menjadi lumbung grup kesenian ketoprak. Grup ketoprak di berbagai daerah ini selain pentas di tobong (arena pertunjukan) juga bermain menurut panggilan dari warga. Biasanya, panggilan pentas ketoprak diadadakan dalam rangka sedekah bumi, slametan (upacara rasa syukur atas berkah Tuhan), khitanan ataupun agenda haul tokoh desa (memberi penghormatan pada tokoh desa) dan momentum lain. Agenda-agenda inilah yang menjadikan grup ketoprak dapat “bernafas lega”.

Kerja Kreatif 
Grup kesenian ketoprak membutuhkan dukungan dari berbagai pihak agar senantiasa eksis dalam jagad kebudayaan bangsa. Apreasiasi inilah yang akan memperbesar pangsa pasar ketoprak di berbagai daerah. Selain itu, penggiat Ketropak dituntut untuk kreatif dalam merespons perkembangan zaman. Cerita dalam pentas ketoprak diharapkan berkelindan dengan tuntutan penonton. Akan tetapi, naskah cerita juga harus orisinil agar tak melenceng dari struktur cerita yang telah bersemayam dalam gerak kehidupan warga.

Pada titik inilah kinerja kreatif penggiat kesenian ketoprak menemukan muaranya. Untuk itu, segmentasi pasar grup ketoprak kian diperkaya berbagai macam pilihan, untuk memenuhi selera pasar. Ketoprak konvensional yang masih memenuhi paugeran (aturan) klasik, seperti urutan cerita yang harus bermula dari jejer kraton dan dialog sepenuhnya menjadi bagian improvisasi para pemain, tetap memiliki pasar tersendiri. Selain itu, grup ketoprak yang bermetamorfosis dengan perkembangan musik dan teater kontemporer, makin diminati. Grup ketoprak seperti ini, memanggungkan naskah cerita yang sesuai dengan kondisi kehidupan warga. Sindiran yang menyentil kasus korupsi, kinerja pemerintah dan kesungguhan tokoh agama kerap terselip dalam alur cerita ketoprak. Derap kreatifitas inilah yang menjadikan grup ketoprak tetap diminati warga di berbagai daerah.

Dalam penelitian tentang kehidupan grup ketoprak di Pati Jawa Tengah (Ketoprak Pati Tak Pernah Mati), oleh Sucipto Hadi Purnomo, Dosen Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Unnes Semarang, terdapat data menarik tentang gerak dinamis grup ketoprak. Di Pati, menurut Sucipto, grup ketoprak pada umumnya bukan ketoprak tobong (pentas di arena pertunjukan resmi), akan tetapi ketoprak panggilan (pentas karena ada permintaan hajatan). Ada puluhan grup ketoprak di Pati, yang tetap survive karena permintaan pasar tetap stabil. Diantaranya, Siswo Budoyo, Cahyo Mudho, Langen Marsudi Rini, Wahyu Budhoyo, Bangun Budhoyo, Ronggo Budoyo, Dwijo Gumelar, Kridho Carito, Konyik Pati, Manggala Budaya serta beberapa grup ketoprak lain.

Grup-grup ketoprak ini mementaskan berbagai macam lakon, semisal Syeh Jangkung (Andum Waris, Geger Palembang, Ontran-ontran Cirebon, Bedhahing Ngerom, Sultan Agung Tani, Lulang Kebo Landoh), Dalang Sapanyana-Yuyu Rumpung, Babad Juwana (Dewi Rara Pujiwati Gugur, Adipati Patak Warak Mbalelo, Maling Kapa Maling Gentiri), Rara Mendut-Pranacarita, Baron Sekeber-Rara Suli, Anda Rante, Mutamakkin dan lakon lainnya. Selain itu, naskah-naskah cerita kontemporer hasil gubahan kreatif sutradara ketoprak juga banyak bermunculan. Cerita-cerita kontemporer yang merespon kondisi sosial negeri ini, menjadi “jeda” agar penonton tak bosan dengan cerita konvensional.

Grup-grup ketoprak ini biasanya pentas selain bulan Sura (Muharram) dan Pasa (Ramadhan) dalam penanggalan Jawa. Pada bulan Madilawal, Madilakir, Rejeb, Ruwah, Sawal, Apit dan Besar, grup ketoprak laris tanggapan pentas seperti agenda pernikahan dan khitan. Bahkan, grup ketoprak Cahyo Mudo, pentas ratusan kali dalam setahun. Selama 2001, Cahyo Mudo pentas selama 161, pada 2002 tercatat 159 kali. Sedangkan pada tahun 2003 sebanyak 138 kali, pada 2004 terhitung 139 kali dan di tahun 2005 ada 122 kali. Pada tahun 2006 menjalani pentas sebanyak 140 kali tanggapan. Akan tetapi, tak semua grup ketoprak yang mendapat undangan pentas stabil setiap tahunnnya. Penggiat grup ketoprak kecil lebih banyak libur daripada menjalani tanggapan pentas. Hal inilah yang seharusnya mendapat perhatian tinggi dari warga negeri ini. Kesenian ketoprak hendaknya dilestarikan sebagai bagian kekayaan kebudayaan negeri ini.

Gerak kehidupan grup ketoprak yang semakin sempit, menjadi hal ironis di tengah agenda kebudayaan bangsa. Warga negeri ini, hendaknya mengapreasiasi grup ketoprak sebagai bagian penting khazanah kebudayaan bangsa. Warga sebaiknya tidak hanya memberikan penghargaan atas perjuangan penggiat ketoprak, akan tetapi undangan pentas lebih berarti daripada sekedar penghargaan sepintas.

Untuk itulah, apresiasi warga dan dukungan pemerintah sangat dibutuhkan untuk melestarikan grup ketoprak di tengah ragam kesenian negeri ini. Pemerintah hendaknya memberikan ruang apreasiasi tinggi pada kelangsungan hidup grup ketoprak, dengan membangun ruang kesenian dan mengadendakan pertujukan resmi secara kontinyu. Ruang budaya seperti Taman Budaya Raden Saleh (Semarang), Bentara Budaya Jogjakarta, dan Taman Budaya Jawa Tengah (Solo) hendaknya dibangun di setiap daerah. Agenda kreatif wartawan Jogjakarta yang mementaskan ketoprak di Gedung Concert Hall Taman Budaya Yogya (TBY) pada 26 Pebruari 2008 lalu, dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN) menjadi titik penting untuk mensosialisasikan ketoprak dalam panggung kehidupan masyarakat.

Pertunjukan resmi kesenian ketoprak atas prakarsa pemerintah daerah akan memberikan kesejukan bagi penggiat kesenian ketoprak. Dengan demikian, publik akan lebih mengenal ketoprak sebagai kesenian yang memanggungkan kearifan dan nilai-nilai etika kehidupan. Apresiasi warga dan dukungan pemerintah inilah, yang menjadikan grup ketoprak di Jogjakarta , Solo, Semarang , Pati, Kediri dan Tulungagung serta daerah lain senantiasa berdenyut dalam jantung kehidupan negeri ini.